Karier saya adalah keluarga (Mario Teguh - The Golden Ways)
Banyak yang terjadi sepanjang tahun 2010 ini. Mulai dari melahirkan (28 Maret 2010), mutasi kerja ke Jakarta (per Mei 2010, tepat beberapa minggu sebelum cuti melahirkan berakhir, alhamdulillah bisa tinggal bersama suami setelah menjalani LDL Semarang-Jakarta sejak pernikahan 12 April 2009 :)), merintis bisnis online perlengkapan ibu, bayi dan muslimah WataShop (Agustus 2010) dan yang terakhir pengumuman Tugas Belajar November 2010 lalu (insya Alloh mulai Januari 2011 saya akan kembali ke bangku kuliah :))
Alhamdulillah. Bersyukur atas begitu banyak nikmat yang saya rasakan. Tapi yang namanya manusia, keinginan lebih akan selalu saja ada ya? (Hiks, astaghfirulloh, semoga bukan kufur nikmat). Belakangan ini keinginan untuk resign semakin menjadi saja. Ingin, sungguh ingin menjadi working-at-home-mom (WHM) yang punya banyak waktu bersama dengan anak, tidak seperti sekarang ini yang harus meninggalkan anak dari pukul tujuh pagi sampai pukul enam petang, membiarkan anak dalam asuhan Asisten Rumah Tangga. Keinginan ini semakin menjadi melankolik ketika membaca curhatan ibu-ibu di forum diskusi dan milis, ketika bertransaksi dengan WHM, bahkan ketika berinteraksi dengan tetangga yang full-time-mother (FTM).
Mencoba merunut sejak kapan niatan resign itu terlintas, hmmm, sepertinya sejak punya bayi. Awalnya sebatas keinginan abstrak saja, bahwa saya ingin berhenti bekerja dari kantor sebelum masa pensiun datang. Berhitung, masa pensiun umur 56 tahun, pada umur setua itu anak-anak saya pasti sudah tinggal bersama keluarga masing-masing, dan saya hanya berdua dengan suami saja (insya Allah). Ugh, nggak mau saya bersepi-sepi di masa tua. Maunya saya, berhenti kerja ketika saya belum terlalu tua dan anak-anak belum terlalu dewasa, biar bisa main bersama :)
Malam tadi ketika membaca buku Bunda Manajer Keluarga tulisan Irawati Istadi, ada satu paragraf di halaman 233 yang menyentil hati ini, isi paragraf itu adalah bahwa ‘Para wanita di Jepang berhenti dari pekerjaan mereka ketika mereka mempunyai bayi, dan mereka memulai mencari pekerjaan yang bersifat part time ketika anak mereka berusia 2 tahun kemudian ketika anak-anak mereka telah mencapai usia sekolah dasar baru wanita Jepang serius membangun karier mereka lagi’. Saya utarakan hal ini pada suami, jawabnya “Adik siap ga, uang belanja dikurangi, nggak jajan-jajan di luar lagi...(dst)?” Ya, ya, ya, saya sadar bahwa keputusan untuk resign itu bukan keputusan yang mudah, konsekuensi secara finansial pasti ada. Banyak hal yang harus dipersiapkan. Termasuk mengkomunikasikan rencana resign pada keluarga, tidak hanya pada keluarga inti tapi juga keluarga noninti.
Bismillah... bertekad untuk menjadikan keluarga sebagai karier utama, dengan (berusaha) tidak menganaktirikan karier-karier yang lain (sebagai pegawai dan sebagai owner dari WataShop :D). Untuk jangka pendek ini sepertinya tidak memungkinkan untuk bisa segera resign, jadi langkah minimal yang bisa saya lakukan adalah menyusun rencana resign yang lebih realistis dan memantapkan WataShop ini agar cukup menghasilkan ketika saatnya saya resign nanti. Mohon doanya :)
Artikel ini diikutsertakan pada Kontes Unggulan Muhasabah Akhir Tahun di BlogCamp